Seni Budaya
Genggong Pegok, Satu-Satunya Kesenian Genggong Di Kota Denpasar Yang Perlu Dilestarikan
Ada yang tahu apa itu genggong? Genggong adalah alat musik khas Bali yang terbuat dari bambu/batang pohon enau dengan ukuran panjang kira-kira 18-20 cm dan lebar 1,5-2 cm dimana ia memiliki bunyi yang khas dan unik. Cara memainkannya dengan menempelkan genggong pada bibir, sambil menggetarkannya melalui tarikan tali(teknik ngedet) serta menggunakan metode resonansi tenggorokan/rongga mulut untuk menghasilkan nada.
Terdapat dua jenis genggong yaitu genggong lanang(suara tinggi) dan genggong wadon(suara rendah). Selain di Bali, terdapat juga alat musik yang mirip dengan genggong seperti karinding(Jawa Barat), kuriding(Kalimantan Selatan), drumbla(Slowakia) dan dibeberapa negara barat sering juga disebut sebagai mouthharp. Di Bali sendiri kesenian genggong ini ada di beberapa tempat seperti di Karangasem, Buleleng, Batuan Gianyar dan di Banjar Pegok Sesetan Denpasar.
Sejarah Genggong Pegok
Di Banjar Pegok sendiri genggong berawal kira-kira sekitar tahun 1930-an dimana saat itu seorang pemuda asli Banjar Pegok, Sesetan bernama I Ketut Regen (Kakek/Kak Danjur) memikat hati para sahabatnya dalam memainkan Genggong. Kak Danjur membentuk komunitas genggong yang bertujuan menghibur diri, bersosialisasi, bertemu sapa hingga menjalin tali kasih dan cinta.
Namun seiring berkembangnya Kesenian lain saat itu, lambat laun genggong ini mulai ditinggalkan hingga dapat dikatakan dilupakan lagi karena genggong Pegok ini sudah tidak terdengar lagi.
Menurut I Made Wardana atau sering dipanggil dengan nama Bli Ciaaattt, genggong Pegok mulai terdengar lagi sekitar tahun 1988 saat ada suatu perlombaan Seka Teruna Teruni tingkat Provinsi Bali dimana Banjar Pegok mewakili Badung dan menampilkan genggong dalam perlombaan tersebut. Lebih lanjut, Bli Ciaaattt menuturkan setelah tahun 1988 tersebut, genggong Pegok kembali tenggelam.
Rekonstruksi/Revitalisasi Genggong di Pesta Kesenian Bali ke-41
Bli Ciaaattt yang sempat bertugas sebagai Lokal Staf Fungsi Penerangan Sosial Budaya KBRI Brussel ini bertekad akan kembali menghidupkan genggong saat ia kembali ke Bali. Sekembalinya dari Belgia, ia kemudian membentuk sanggar Qakdanjur dan diberikan kepercayaan oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar sebagai Duta Seni Kota Denpasar dalam Pesta Kesenian Bali ke-41 yang berlangsung pada tahun 2019 lalu.
Materi seni yang akan ditampilkan terbagi menjadi 3 bagian :
- Rekonstruksi, menampilkan kembali gending kuno dan asli. (Capung Gantung, Pusuh Kadut, Bungkak Sari, Dongkang menek biu, Kidange Nongklang Crucuke Punyah, Langsing Tuban)
- Rekoneksi mengkaitkan kembali dengan instrumen Geguntangan berupa Suling, Kendang, Cengceng , Gong Pulu serta perpaduan biola dan cello untuk menawarkan nuansa lebih bervariasi. (Kedis Ngindang – Paris 2015, Shiwi – Brussel 2009).
- Re-Inovasi, mencuatkan sebuah Fragmentari Komedi “Ampuang Angin”yang diiringi dengan Genggong dan Gamut (Gamelan Mulut). Fragmentari Komedi ini mengisahkan sebuah cerita perjalanan budaya 4 orang bersaudara : Iciaaattt, Iciuuuttt, Icueeettt nicuiiittt
Setelah PKB ke-41 tersebut, genggong Pegok mulai kembali dikenal dan mendapatkan sambutan yang cukup antusias oleh masyarakat. Bli Ciaaattt memiliki kanal youtube Made Agus Wardana yang khusus ia buat untuk menampilkan seni genggong agar genggong ini bisa dikenal lebih luas lagi.
Pembuat alat genggong Pegok
Untuk alat genggong Pegok sendiri terbuat dari bambu. Hal ini juga yang membedakan genggong Pegok dengan genggong dari daerah lain dimana biasanya menggunakan genggong dari pohon enau. Salah satu keturunan Kak Danjur, I Ketut Ragia yang juga salah satu maestro genggong Pegok juga memiliki ketrampilan membuat genggong yang diturunkan oleh Kak Danjur(ayahnya).
Menurut Bli Ciaaattt, Ketut Ragia adalah satu-satunya pembuat genggong di Kota Denpasar. Ketut Ragia memilih bahan bambu dalam pembuatan genggong karena bahan bambu ini memiliki suara yang lebih keras. Dalam pembuatan satu buah genggong biasanya Ketut Ragia memerlukan waktu 1 hingga 2 minggu.
“Pemerintah seharusnya memiliki perhatian lebih kepada Ketut Ragia, karena dengan keahlian beliau ini kesenian genggong bisa kami lestarikan. Saat ini kami sedang mempelajari bagaimana cara membuat genggong yang baik dari beliau,” ungkap Bli Ciaaattt saat ditemui di rumahnya diseputaran jalan Palapa Sesetan.
Saat ini kesenian genggong Pegok ini sudah mulai diturunkan kepada generasi muda khususnya di lingkungan Banjar Pegok. “Saya dan keluarga besar Kak Danjur memang memiliki tekad agar genggong ini tetap lestari tidak seperti sebelumnya. Melalui Sanggar Qakdanjur inilah kami menurunkan kemampuan memainkan genggong ini ke generasi muda kami disini dan tidak tertutup kemungkinan untuk yang dari luar lingkungan Banjar Pegok,” ungkap Bli Ciaaattt yang sempat memperoleh penghargaan dari gubernur Bali sebagai pemain kendang terbaik dalam lomba mekendang “Jauk Manis” Di Pesta Kesenian Bali.
Genggong ini tidaklah terlalu sulit untuk dipelajari. “Mempelajari genggong tidaklah sesulit yang dikira, asal ada kemauan dan rutin untuk berlatih pasti tidak memerlukan waktu lama untuk bisa memainkan genggong,” ujar Agus Widi Nyoman Wardana salah satu seniman muda Banjar Pegok Sesetan yang sedang menekuni genggong.
Agus Widi bersama-sama temannya di Banjar Pegok Sesetan membentuk sebuah sekaa seni untuk melestarikan genggong ini agar tidak hilang ditelan jaman. “Kalau bukan kami anak-anak muda Banjar Pegok, siapa lagi yang akan melestarikan genggong Pegok ini,” ungkap Agus Widi yang lahir di Belgia ini.
Genggong Sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Terkait status genggong Pegok yang masuk sebagai Warisan Budaya Tak Benda, Bli Ciaaattt berharap agar ada perhatian yang lebih nyata lagi dari pemerintah baik pemerintah Kota Denpasar maupun pemerintah Provinsi Bali untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian genggong ini.
“Kami berharap ada perhatian yang lebih kongkret dari pemerintah misalnya ada bantuan beasiswa untuk melestarikan genggong ini karena untuk melestarikan genggong ini memang memerlukan biaya yang tidak sedikit terutama dalam pengadaan alat genggong, bagaimana bisa memberikan kompensasi bagi pengrajinnya dan untuk mengajak orang bergabung dalam komunitas genggong ini tidaklah semudah yang dibayangkan,” ungkap Bli Ciaaattt yang juga pernah menjadi Ketua Komunitas masyarakat Bali di Belgia -Luxembourg.
Kedepannya dimana saat pandemi ini sudah mulai mereda ia berharap bisa diberikan kesempatan yang lebih banyak lagi tidak hanya untuk pementasan sebagai hiburan saja tetapi juga untuk bisa memberikan edukasi terkait kesenian Genggong Pegok ini.
Menurutnya lagi, sosialisasi genggong ke sekolah-sekolah juga sangat penting bagi anak-anak muda sehingga genggong ini tidak hanya dilihat sebagai tontonan saja namun bisa membangkitkan ketertarikan generasi muda untuk memainkannya sehingga genggong Pegok akan tetap lestari.