Connect with us

Mulai Jarang Pentas, Liku Cantik Gek Kinclong Curhat Sampai Keruk Tabungan

Seni Budaya

Mulai Jarang Pentas, Liku Cantik Gek Kinclong Curhat Sampai Keruk Tabungan

Jarang ada yang melirik, pandemi juga membuat pelaku kesenian tradisional Bali menjerit. Sebagian dari mereka pun lebih banyak menggantungkan hidup pada jumlah pementasan. Namun, sejak dibatasinya kegiatan dan kerumunan, secara derastis job para seniman tradisional Bali menurun.

Salah satu yang terdampak adalah Komang David Darmawan, atau akrab dengan nama panggung Gek Kinclong. Gek Kinclong sering memerankan tokoh liku dalam pementasan bebalian seperti arja, bondres, hingga calonarang. Tidak jarang juga ia mengambil sampingan sebagai pengisi acara ataupun pembawa acara dengan karakter kemayu khas Gek Kinclong.

Komang David Darmawan – Dok. Putri Handayani

Sebelum adanya pandemi, Gek Kinclong mengaku dalam sebulan bisa sampai sepuluh kali pentas dalam berbagai acara. Sedangkan kini, sangat menurun derastis menjadi dua kali dan maksimal hingga lima kali pentas sebulan. Pentasnya pun bukan dalam acara-acara besar, melainkan acara-acara rumahan seperti piodalan kecil, acara di hotel, manusa yadnya, HUT STT, dan acara intern lainnya.

Liku yang dijuluki Ashantynya Bali ini mengaku terakhir kali pentas dengan jumlah penonton yang banyak dan tanpa protokol kesehatan yaitu di akhir 2019 menuju 2020. Sebelum Nyepi, dirinya mengaku masih mendapatkan pementasan dengan pemirsa yang banyak, namun setelah Nyepi, jadwal pementasan pun mulai diatur ulang bahkan dibatalkan padahal DP sudah terbayar. Saat itulah Gek Kinclong mulai merasakan bagaimana pentas tanpa mic dan tanpa diiringi gamelan. Pentas malam pun sudah mulai jarang sejak pandemi.

Gek Kinclong Menjelang Pentas – Dok. Putri Handayani

“Tentu saja karena jarangnya kita pentas dan bertemu, tidak muluk-muluk pastinya pemasukan berkuang. Karena sebagai seorang seniman yang hanya terjun dalam bidang ini saja, ibarat ‘payuk jakan’, kita merasakan dampak yang sangat luar biasa,” ungkap pria asal Banjar Pegok, Sesetan, itu.

Dosen Kontrak di Jurusan Tari dan Tata Rias Universitas PGRI Mahadewa Indonesia itu juga mengeluhkan perbedaan situasi ketika menari di masa pandemi. Yang awalnya disaksikan meriah oleh para penonton dengan jumlah fantastis, kini jumlahnya dibatasi. Adanya kebijakan untuk mengenakan atribut protokol kesehatan juga membuat Gek Kinclong kurang puas dan percaya diri dalam membawakan perannya karena ia tidak bisa melihat tawa dari raut wajah penonton yang tertutupi masker.

“Selain mendapat materi dalam bentuk uang, ada kepuasan tersendiri bagi saya ketika melihat penonton tertawa melihat pementasan saya. Ketika menggunakan masker, saya tidak tahu apakah mereka tertawa atau tidak. Tapi, bagaimana pun juga kita tetap harus menjalankan protokol kesehatan,” sambungnya.

Untungnya, pria kelahiran 22 Oktober 1993 itu memiliki mindset gemar menabung jauh sebelum covid-19 mewabah. Meski kuantitas pementasannya menurun, setidaknya masih ada ‘jaring’ yang menahannya. Ia harus rela merogoh tabungan untuk menghidupi diri dan keluarga karena pemasukan dari mengajar tidak seberapa. Salon kecantikan yang ia jalani sejak 2017 pun ikut andil menopang finansialnya meski tidak banyak yang mampir. Satu sampai dua pelanggan rias wedding sebulan sudah sangat disyukuri.

Tidak bisa dipungkiri, tarif harga pementasan Gek Kinclong juga berbanding lurus dengan merosotnya perekonomian akibat covid-19. Bahkan, penurunan harganya mencapai 50%. Namun, Gek Kinclong juga tidak sertamerta membanting harga meski keadaan sedang sulit, ada batasan-batasan tertentu juga yang ia terapkan melihat dari segi acara dan tempat di mana ia pentas.

Entah sampai kapan pagelaran seni tradisional Bali dibatasi. Di samping itu, Gek Kinclong juga menyayangkan terkait pembatasan kegiatan adat yang diterapkan. Ia menilai hal tersebut semakin mengikis nilai kesakralan ritual dan budaya Bali.

“Setidaknya jangan perlahan menghilangkan unsur kesakralan budaya Bali dengan terlalu takut terhadap covid ini. Kita tahu virus ini berbahaya, akan tetapi jika terlalu berlebihan dalam menanggapinya akan membuat Bali yang dulunya memiliki taksu sakral perlahan akan meredup dan kalah populer dari covid. Saya tidak keberatan untuk mematuhi prokes, tapi izinkan juga seniman mendapatkan kembali panggung dan masyarakat berkegiatan,” pungkas pelantun tembang ‘Liku Cetar (Cantik Sebentar) itu.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lainnya di Seni Budaya

Advertisement
To Top